Pendapat saya mengenai kasus korupsi yang marak terjadi di Indonesia, saya mengecam sekali perbuatan semacam itu, memperkaya diri sendiri menggunakan uang rakyat.
Masalahkorupsi di Indonesia seperti sudah mendarah daging pada negeri ini. korupsi telah menjadikan negara Indonesia yang sebenarnya mempunyai kekayaan melimpah menjadi miskin di negerinya sendiri. hanya orang-orang tertentu saja yang dapat kaya dan bisa membeli segalanya termasuk keadilan di negeri ini.
Lihat saja betapa seorang mafia pajak seperti Gayus Tambunan bebas keluar masuk penjara padalah statusnya masih seorang terdakwa. bukan hanya itu, diapun menyuap petugas imigrasi untuk membuatkan paspor palsu senilai Rp 900 juta. belum lagi masalah joki napi yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan dan baru ketahuan setelah sekian lama, joki napi tersebut dibayar untuk menggantikan seorang narapidana di penjara tentunya dengan persetujuan petugas lapas.
Lihat, betapa seakan orang-orang di negeri ini haus akan uang dan miskin moral. entah apa jadinya negeri ini bila kondisi seperti ini terus dibiarkan. harus ada kesadaran yang dimulai dari diri sendiri dan kejujuran yang ditanam di hati. terlebih lagi untuk generasi muda yang nantinya akan menggantikan "senior" mereka agar tak mengulangi kesalahan seperti ini lagi.
Bila korupsi dapat diberantas di negeri ini, niscaya Indonesia akan menjadi negara besar yang maju. . amiiin.
Jumat, 21 Januari 2011
Minggu, 16 Januari 2011
Tugas 6 Sosopol (Analisa hubungan anatara bentuk birokrai negara maju dengan negara berembang dalam mengatasi kebutuhan masyarakat)
Pengertian Birokrasi
Kata “birokrasi” dapat diartikan mengandung pengertian: (a) Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.
Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber,memberikan ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:
1. Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi di distribusikan melalui cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas resmi;
2. Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis yaitu bahwa unit yang lebih rendah dalam sebuah kantor berada di bawah administratoran dan pembinaan yang lebih tinggi;
3. Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu;
4. Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu, tanpa persaan-perasaan kasih sayang atau auntianisme;
5. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan kepada kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak; dan
6. Pengalaman secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi administratif murni yang berciri birokratis dilihat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
Konsep birokrasi di atas dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang diemban sebuah birokrasi negara, yaitu:
1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;
2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasiklannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan
4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
Birokrasi di negara berkembang
Negara-negara berkembang menghadapi ancaman patologi birokrasi, yaitu birokrasi yang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri, terpusat, dan mempertahankan status quo. Patologi birokrasi juga menyebabkan birokrasi menggunakan kewenangannya yang besar untuk kepentingan sendiri.
Mengutip sebuah penelitian,di negara berkembang terdapat lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
1. Administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik.
2. Birokrasinya kekurangan sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan dan penguasaan teknis.
3. Birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan. Ginandjar kemudian mengutip pakar administrasi pemerintahan yang menyatakan, preferensi birokrat lebih berorientasi pada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.
4. Adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan. Mengutip pendapat seorang ahli, Ginandjar menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.
5. Birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Birokrasi Di Negara Maju
Birokrasi negara maju akan menunjukan pada titik tertentu sebuah tingkat keprofesionalan yang tinggi, baik untuk mengidentifikasi maupun melayani berbagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Karena sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta birokrasi sudah sangat berkembang, maka peran birokrasi pada proses-proses politik sudah jelas dan teratur dan berada dibawah kontrol yang efektif dari lembaga-lembaga politik yang secara fungsional menangani hal tersebut.
Kata “birokrasi” dapat diartikan mengandung pengertian: (a) Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan; (b) Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku-likunya, dan sebagainya.
Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber,memberikan ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:
1. Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi di distribusikan melalui cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas resmi;
2. Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hirarkis yaitu bahwa unit yang lebih rendah dalam sebuah kantor berada di bawah administratoran dan pembinaan yang lebih tinggi;
3. Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu;
4. Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu, tanpa persaan-perasaan kasih sayang atau auntianisme;
5. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasarkan kepada kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak; dan
6. Pengalaman secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi administratif murni yang berciri birokratis dilihat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
Konsep birokrasi di atas dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang diemban sebuah birokrasi negara, yaitu:
1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;
2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasiklannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan
4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
Birokrasi di negara berkembang
Negara-negara berkembang menghadapi ancaman patologi birokrasi, yaitu birokrasi yang cenderung mengutamakan kepentingan sendiri, terpusat, dan mempertahankan status quo. Patologi birokrasi juga menyebabkan birokrasi menggunakan kewenangannya yang besar untuk kepentingan sendiri.
Mengutip sebuah penelitian,di negara berkembang terdapat lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
1. Administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik.
2. Birokrasinya kekurangan sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan dan penguasaan teknis.
3. Birokrasi di negara berkembang lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan. Ginandjar kemudian mengutip pakar administrasi pemerintahan yang menyatakan, preferensi birokrat lebih berorientasi pada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.
4. Adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan. Mengutip pendapat seorang ahli, Ginandjar menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme. Yakni, gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi.
5. Birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Birokrasi Di Negara Maju
Birokrasi negara maju akan menunjukan pada titik tertentu sebuah tingkat keprofesionalan yang tinggi, baik untuk mengidentifikasi maupun melayani berbagai kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Karena sistem politik di negara maju secara keseluruhan sudah stabil dan matang, serta birokrasi sudah sangat berkembang, maka peran birokrasi pada proses-proses politik sudah jelas dan teratur dan berada dibawah kontrol yang efektif dari lembaga-lembaga politik yang secara fungsional menangani hal tersebut.
Selasa, 30 November 2010
Tugas 5 Sospol (Struktur Sosial)
Tugas 5 Sospol (Struktur Politik)
Politik adalah suatu proses dimana masyarakat memutuskan bahwa aktivitas tertentu adalah lebih baik dari yang lain dan harus dilaksanakan. Dengan demikian struktur politik meliputi baik struktur hubungan antara manusia dengan manusia maupun struktur hubungan antara manusia dengan pemerintah. Selain itu, struktur politik dapat merupakan bangunan yang nampak secara jelas (kengkret) dan yang tak nampak secara jelas.
1. Kelompok Elite
Banyak teori yang dibuat oleh para ahli yang berhubungan dengan elite politik Klasifikasi elite menurut mosca ada dua:
a) Elite politik yang memerintah yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemerintahan.
b) Elite yang tidak memerintah yang merupakan sisa yang besar dari seluruh elite.
Kedua elite di atas masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam usaha mereka menguasai dan mempengaruhi massa.
Dari banyaknya klasifikasi elite yang dibuat para ahli, ada beberapa tipe yang ideal mengenai elite politik. Tipologi ideal elite tersebut adalah sebagai berikut:
1) Elite dinastik adalah mereka yang bersala dari golongan aristokrasi, pedagang dan pemilik tanah. Tipe elite ini memberi kepemimpinan yang tertutup sifatnya, dengan keanggotaanya yang umumnya berasal dari anggota keluarga, sehingga dalam menyampaikan pesan (berkomunikasi) dengan khalayak terkesan ditutupi tidak terbuka sehingga kebijakan yang dibuat tidak diketahui secara jelas oleh khalayak hanya pada tatanan keluarga saja.
2) Elite kelas Menengah.
Kelompok ini merupaka elit baru yang ternyata dalam kemajuan hidupnya berdampingan dengan elite lama.Mereka berasal dari kelompok pedagang dan pengusaha.
3) Intelektual revolusioner. Merupakan kelompok baru yang muncul mengambil alih kepemimpinan nasional dan menyingkirkan elit lama dan mungkin juga budaya lama yang bersifat kolononial. Ideologi menekankan gagasan panggilan historis dan peran serta memiliki dedikasi tugas yang tinggi.
4) Administrator Kolonial. Elite ini mewakili dan bertanggung jawab kepada negara penjajah. Kepemimpinan mereka lebih menghandalkan kekuatan fisik dan ancaman daripada bujukan dan kompromi.
5) Elite Nasionalistik. Bagi elite nasionalis dinegara berkembang, nasionalisme masih merupakan sentimen daripada sistem pemikiran yang dijabarkan.
2. Kelompok Kepentingan
Anomik, Asosiasional, Nonasosional Mahasiswa dan Angkatan Muda Melihat sejarah politik Indonesia, lebih-lebih sejarah pergerakkan kemerdekaan, tak dapat di sangkal lagi bahwa gerakan angkatan muda pada ”era”nya selalu dilandasi idealisme. Oleh karena itu angkatan muda sebagai salah satu pengelompokan umur, khususnya mahasiswa, relatif mempunyai kematangan umur dan bekal pengetahuan, selalu merupakan kekuatan moral dalam saat kritis,sehingga dapat pula disebut sebagai golongan kepentingan anomik (anomic interest group). Karena landasannya kekuatan mmoral, kekuatan lainnya sering terpanggil dan terlibat atau melibatkan diri untuk bersama-sama memanifestasikan sikapnya dalam menghadapi berbagai masalah; maka dengan demikian terjadilah integrasi antarkekuatan.
3. Kelompok Birokrasi
Dengan mendefinisikan secara lebih sempit, Crouch, mencatat bahwa bureaucratic-polity (masyarakat politik birokrati) di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu : pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontol kekuatan birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi .
Kecenderungan yang makin menguatnya peranan birokrasi, nampak dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi tidak banyak melibatkan kekuatan sosial politik, dan lebih banyak bertumpu pada teknokrat. Selama ini pandangan teknokrat amat menentukan didalam meletakkan arah pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, anggaran berimbang, peletakan jaringan pasar dan infra struktur, politik investasi terbuka dan sebagainya. Sementara penetrasi birokrasi didalam kehidupan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan cultural, semakin meningkat Kondisi seperti ini akan membawa akibat segala kebijaksanaan lebih banyak ditentukan oleh birokrat dengan keputusan-keputusan yang amat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan teknokratis yang non politis.
Fenomena seperti ini oleh Jackson, disebut bureaucratic polity yang tercermin dalam besarnya kekuasaan birokrasi vis-avis lembaga-lembaga perwakilan dan infra struktur, politik seperti partai politik dan ormas. Akibatnya biaya politik (polical cost) yang harus dibayar karena timbulnya kepolitikan yang tidak berimbang (unbalanced polity), lemahnya control sosial, berhimpitnya struktur ekonomi dengan struktur politik, kaburnya batas penguasa dengan penguasa, dan sebagainya.
4. Massa
Media massa dianggap memiliki peranan yang unik dalam pembangunan politik, karena memiliki suatu instrumen teknologi yang independen, yang produknya dapat menjangkau ke tengah-tengah masyarakat dalam jumlah yang besar (Gerbner dalam McQail, 1987). Di samping itu, media massa menganggap diri sebagai perantara yang independen antara pemerintah dengan publik.
Sebagian informasi, khususnya yang disampaikan oleh media massa akan melintasi garis-garis batas geografis dan kelas sosial. Namun dua karakteristik perubahan attitude akan membatasi dampak media tersebut.
Yang pertama adalah interpretasi informasi melalui media massa tentunya akan dilakukan oleh para pemimpin opini. Pemimpin opini itu sendiri akan amat dipengaruhi oleh hubungan antar personanya (jaringan sosialnya), yang menurut penelitian selama ini menunjukkan hasil yang konsisten, bahwa pengaruhnya lebih kuat dalam hal persuasi ketimbang media massa.
Yang kedua, sekalipun secara persis masih diperdebatkan, tapi dalam banyak hal media massa diakui sebagai saluran yang berkemampuan untuk menyampaikan lebih dari sekedar informasi politik. Artinya, media massa dapat dibuktikan mempunyai efek politik dalam suatu kelangsungan sistem politik suatu masyarakat. Kekuatan media, dalam kaitan ini, menurut Gurevitch dan Blumler (dalam Nasution, 1990) bersumber dalam tiga hal, yaitu struktural, psikologis, dan bersifat normatif. Akar struktural kekuatan media massa bersumber pada kemampuannya yang unik untuk menyediakan khalayak bagi para politisi yang ukuran dan komposisinya tidak akan diperoleh para politisi dimaksud melalui alat yang lain. Sedangkan akar psikologis dari kekuatan media bersumber pada hubungan kepercayaan dan keyakinan yang berhasil diperoleh (meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda) oleh organisasi media dari anggota khalayaknya masing-masing. Ikatan saling percaya ini tumbuh berdasarkan pada pemenuhan harapan khalayak selama ini dan validasi dari hubungan percaya mempercayai di masa lampau antara media yang bersangkutan dengan khalayaknya.
Politik adalah suatu proses dimana masyarakat memutuskan bahwa aktivitas tertentu adalah lebih baik dari yang lain dan harus dilaksanakan. Dengan demikian struktur politik meliputi baik struktur hubungan antara manusia dengan manusia maupun struktur hubungan antara manusia dengan pemerintah. Selain itu, struktur politik dapat merupakan bangunan yang nampak secara jelas (kengkret) dan yang tak nampak secara jelas.
1. Kelompok Elite
Banyak teori yang dibuat oleh para ahli yang berhubungan dengan elite politik Klasifikasi elite menurut mosca ada dua:
a) Elite politik yang memerintah yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemerintahan.
b) Elite yang tidak memerintah yang merupakan sisa yang besar dari seluruh elite.
Kedua elite di atas masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam usaha mereka menguasai dan mempengaruhi massa.
Dari banyaknya klasifikasi elite yang dibuat para ahli, ada beberapa tipe yang ideal mengenai elite politik. Tipologi ideal elite tersebut adalah sebagai berikut:
1) Elite dinastik adalah mereka yang bersala dari golongan aristokrasi, pedagang dan pemilik tanah. Tipe elite ini memberi kepemimpinan yang tertutup sifatnya, dengan keanggotaanya yang umumnya berasal dari anggota keluarga, sehingga dalam menyampaikan pesan (berkomunikasi) dengan khalayak terkesan ditutupi tidak terbuka sehingga kebijakan yang dibuat tidak diketahui secara jelas oleh khalayak hanya pada tatanan keluarga saja.
2) Elite kelas Menengah.
Kelompok ini merupaka elit baru yang ternyata dalam kemajuan hidupnya berdampingan dengan elite lama.Mereka berasal dari kelompok pedagang dan pengusaha.
3) Intelektual revolusioner. Merupakan kelompok baru yang muncul mengambil alih kepemimpinan nasional dan menyingkirkan elit lama dan mungkin juga budaya lama yang bersifat kolononial. Ideologi menekankan gagasan panggilan historis dan peran serta memiliki dedikasi tugas yang tinggi.
4) Administrator Kolonial. Elite ini mewakili dan bertanggung jawab kepada negara penjajah. Kepemimpinan mereka lebih menghandalkan kekuatan fisik dan ancaman daripada bujukan dan kompromi.
5) Elite Nasionalistik. Bagi elite nasionalis dinegara berkembang, nasionalisme masih merupakan sentimen daripada sistem pemikiran yang dijabarkan.
2. Kelompok Kepentingan
Anomik, Asosiasional, Nonasosional Mahasiswa dan Angkatan Muda Melihat sejarah politik Indonesia, lebih-lebih sejarah pergerakkan kemerdekaan, tak dapat di sangkal lagi bahwa gerakan angkatan muda pada ”era”nya selalu dilandasi idealisme. Oleh karena itu angkatan muda sebagai salah satu pengelompokan umur, khususnya mahasiswa, relatif mempunyai kematangan umur dan bekal pengetahuan, selalu merupakan kekuatan moral dalam saat kritis,sehingga dapat pula disebut sebagai golongan kepentingan anomik (anomic interest group). Karena landasannya kekuatan mmoral, kekuatan lainnya sering terpanggil dan terlibat atau melibatkan diri untuk bersama-sama memanifestasikan sikapnya dalam menghadapi berbagai masalah; maka dengan demikian terjadilah integrasi antarkekuatan.
3. Kelompok Birokrasi
Dengan mendefinisikan secara lebih sempit, Crouch, mencatat bahwa bureaucratic-polity (masyarakat politik birokrati) di Indonesia mengandung tiga ciri utama, yaitu : pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontol kekuatan birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan parpol dan secara timbal balik menguatkan birokrasi .
Kecenderungan yang makin menguatnya peranan birokrasi, nampak dalam proses pengambilan keputusan, birokrasi tidak banyak melibatkan kekuatan sosial politik, dan lebih banyak bertumpu pada teknokrat. Selama ini pandangan teknokrat amat menentukan didalam meletakkan arah pembangunan ekonomi yang menekankan stabilitas, anggaran berimbang, peletakan jaringan pasar dan infra struktur, politik investasi terbuka dan sebagainya. Sementara penetrasi birokrasi didalam kehidupan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan cultural, semakin meningkat Kondisi seperti ini akan membawa akibat segala kebijaksanaan lebih banyak ditentukan oleh birokrat dengan keputusan-keputusan yang amat dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan teknokratis yang non politis.
Fenomena seperti ini oleh Jackson, disebut bureaucratic polity yang tercermin dalam besarnya kekuasaan birokrasi vis-avis lembaga-lembaga perwakilan dan infra struktur, politik seperti partai politik dan ormas. Akibatnya biaya politik (polical cost) yang harus dibayar karena timbulnya kepolitikan yang tidak berimbang (unbalanced polity), lemahnya control sosial, berhimpitnya struktur ekonomi dengan struktur politik, kaburnya batas penguasa dengan penguasa, dan sebagainya.
4. Massa
Media massa dianggap memiliki peranan yang unik dalam pembangunan politik, karena memiliki suatu instrumen teknologi yang independen, yang produknya dapat menjangkau ke tengah-tengah masyarakat dalam jumlah yang besar (Gerbner dalam McQail, 1987). Di samping itu, media massa menganggap diri sebagai perantara yang independen antara pemerintah dengan publik.
Sebagian informasi, khususnya yang disampaikan oleh media massa akan melintasi garis-garis batas geografis dan kelas sosial. Namun dua karakteristik perubahan attitude akan membatasi dampak media tersebut.
Yang pertama adalah interpretasi informasi melalui media massa tentunya akan dilakukan oleh para pemimpin opini. Pemimpin opini itu sendiri akan amat dipengaruhi oleh hubungan antar personanya (jaringan sosialnya), yang menurut penelitian selama ini menunjukkan hasil yang konsisten, bahwa pengaruhnya lebih kuat dalam hal persuasi ketimbang media massa.
Yang kedua, sekalipun secara persis masih diperdebatkan, tapi dalam banyak hal media massa diakui sebagai saluran yang berkemampuan untuk menyampaikan lebih dari sekedar informasi politik. Artinya, media massa dapat dibuktikan mempunyai efek politik dalam suatu kelangsungan sistem politik suatu masyarakat. Kekuatan media, dalam kaitan ini, menurut Gurevitch dan Blumler (dalam Nasution, 1990) bersumber dalam tiga hal, yaitu struktural, psikologis, dan bersifat normatif. Akar struktural kekuatan media massa bersumber pada kemampuannya yang unik untuk menyediakan khalayak bagi para politisi yang ukuran dan komposisinya tidak akan diperoleh para politisi dimaksud melalui alat yang lain. Sedangkan akar psikologis dari kekuatan media bersumber pada hubungan kepercayaan dan keyakinan yang berhasil diperoleh (meskipun dengan tingkat yang berbeda-beda) oleh organisasi media dari anggota khalayaknya masing-masing. Ikatan saling percaya ini tumbuh berdasarkan pada pemenuhan harapan khalayak selama ini dan validasi dari hubungan percaya mempercayai di masa lampau antara media yang bersangkutan dengan khalayaknya.
Senin, 29 November 2010
Tulisan (tentang Proses Pemilihan Umum Daerah)
Proses demokrasi di Indonesia terus berkembang, salah satu bentuk demokrasi yang paling nyata adalah adanya pemilihan umum. kita semua mengetahui pada tahun 2005 terdapat perubahan sistem pemilu yang diwujudkan pemerintahan, yaitu adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. hal tersebut juga berlaku untuk pemilihan kepala daerah atau biasa disebut dengan pemilukada.
seorang calon kepala daerah selain ada yang berasal dari kalangan profesional atau independen, biasanya berasal dari perwakilan parpol atau partai tersebut mengajukan salah satu kadernya untuk dicalonkan sebagai kepala daerah.
seperti pemilu seorang presiden, pemilihan umum daerah juga memerlukansosialisai kepada masyarakat setempat diman pemilu tersebut akan dilangsungkan. dalam hal ini kerja keras parpol yang mengusung kadernya untuk dijagokan sangat penting agar masyarakat mengetahui calon yang diajukan parpol tersebut memang pantas untuk menduduki kursi kepala daerah.
dalam mempromosikan seorang calon kepala daerah, masyarakat penting untuk diberitahukan mengenai visi dan misi calon tersebut, bagaiman kebijakannya mengenai masalah yang ada saat ini, serta apa saja yang dapat dilakukan untuk mengembangkan daerah tersebut. tugas parpol (biasanya disebut sebagai tim sukses dalam pemilu) dalam mempromosikan kadernya akan berdampak pada hasil akhir ketika pemilu dilangsungkan. apabila calon tersebut berhasil menempatkan diri sebagai kepala daerah maka berarti tim sukses dari parpol tersebut telah sukses menayakinkan masyarakat untuk memilih pasangan yang diusung dari parpol itu. hanya tinggal bagaiman parpol tersebut mewujudkan janji-janji yang telah diberikan pada saat sosialisasi agar rakyat tidak kecewa.
seorang calon kepala daerah selain ada yang berasal dari kalangan profesional atau independen, biasanya berasal dari perwakilan parpol atau partai tersebut mengajukan salah satu kadernya untuk dicalonkan sebagai kepala daerah.
seperti pemilu seorang presiden, pemilihan umum daerah juga memerlukansosialisai kepada masyarakat setempat diman pemilu tersebut akan dilangsungkan. dalam hal ini kerja keras parpol yang mengusung kadernya untuk dijagokan sangat penting agar masyarakat mengetahui calon yang diajukan parpol tersebut memang pantas untuk menduduki kursi kepala daerah.
dalam mempromosikan seorang calon kepala daerah, masyarakat penting untuk diberitahukan mengenai visi dan misi calon tersebut, bagaiman kebijakannya mengenai masalah yang ada saat ini, serta apa saja yang dapat dilakukan untuk mengembangkan daerah tersebut. tugas parpol (biasanya disebut sebagai tim sukses dalam pemilu) dalam mempromosikan kadernya akan berdampak pada hasil akhir ketika pemilu dilangsungkan. apabila calon tersebut berhasil menempatkan diri sebagai kepala daerah maka berarti tim sukses dari parpol tersebut telah sukses menayakinkan masyarakat untuk memilih pasangan yang diusung dari parpol itu. hanya tinggal bagaiman parpol tersebut mewujudkan janji-janji yang telah diberikan pada saat sosialisasi agar rakyat tidak kecewa.
Tugas 4 Sospol (Fungsi_fungsi politik)
Tugas 4 Sospol (Fungsi-fungsi politik)
1. Sosialisasi politik
Menurut Rachman ( 2006) menjelaskan dari pengertian sosialisasi Politik berasal dari dua kata yaitu Sosialisasi dan Politik. Sosialisasi berarti pemasyarakatan dan Politik berarti urusan negara. Jadi secara etimologis Sosialisasi Politik adalah pemasyarakatan urusan negara. Urusan Negara yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan menurut Michael Rush dan Phillip Althoff yang dikutip dari http://setabasri01.blogspot.com menjelaskan Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik juga sarana bagi suatu suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan politiknya kepada generasi sesudahnya. Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Sosialisasi politik mempunyai tujuan menumbuh kembangkan serta menguatkan sikap politik dikalangan masyarakat (penduduk) secara umum (menyeluruh), atau bagian-bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, judicial tertentu.
Menurut Hyman dalam buku panduan Rusnaini ( 2008) sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes dan dimediai oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik.
Cth : sosialisasi partai politik pada saat kampanye kepada masyarakat.
2. Rekrutmen Politik
Rekrutmrn politik merupakanpengambilan / regenerasi di dunia politik guna meneruskan perjuangan politik di negara.
Cth: rekrutmen untuk anggota parpol / kader parpol.
3. Komunikasi politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Cth: cara bagaimana mengomentari dunia politik dengan baik dan santun
4. Stratifikasi Politik
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara), sedangkan taia berarti urusan. Stratifikasi Politik Nasional Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut ;
1. Tingkat penentu kebijakan puncak
2. Tingkat kebijakan umum
3. Tingkat penentu kebijakan khusus
4. Tingkat penentu kebijakan teknis
5. Tingkat penentu kebijakan di Daerah mempunyai arti yang berbeda-beda.
1. Sosialisasi politik
Menurut Rachman ( 2006) menjelaskan dari pengertian sosialisasi Politik berasal dari dua kata yaitu Sosialisasi dan Politik. Sosialisasi berarti pemasyarakatan dan Politik berarti urusan negara. Jadi secara etimologis Sosialisasi Politik adalah pemasyarakatan urusan negara. Urusan Negara yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan menurut Michael Rush dan Phillip Althoff yang dikutip dari http://setabasri01.blogspot.com menjelaskan Sosialisasi politik adalah proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan persepsi serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik juga sarana bagi suatu suatu generasi untuk mewariskan keyakinan-keyakinan politiknya kepada generasi sesudahnya. Sosialisasi politik ini merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dan pengalaman-pengalaman politiknya yang relevan dan memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Sosialisasi politik mempunyai tujuan menumbuh kembangkan serta menguatkan sikap politik dikalangan masyarakat (penduduk) secara umum (menyeluruh), atau bagian-bagian dari penduduk, atau melatih rakyat untuk menjalankan peranan-peranan politik, administrative, judicial tertentu.
Menurut Hyman dalam buku panduan Rusnaini ( 2008) sosialisasi politik merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes dan dimediai oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Sosialisasi politik melatih individu dalam memasukkan nilai-nilai politik yang berlaku di dalam sebuah sistem politik.
Cth : sosialisasi partai politik pada saat kampanye kepada masyarakat.
2. Rekrutmen Politik
Rekrutmrn politik merupakanpengambilan / regenerasi di dunia politik guna meneruskan perjuangan politik di negara.
Cth: rekrutmen untuk anggota parpol / kader parpol.
3. Komunikasi politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang diperintah”. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Cth: cara bagaimana mengomentari dunia politik dengan baik dan santun
4. Stratifikasi Politik
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara), sedangkan taia berarti urusan. Stratifikasi Politik Nasional Stratifikasi politik nasional dalam negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut ;
1. Tingkat penentu kebijakan puncak
2. Tingkat kebijakan umum
3. Tingkat penentu kebijakan khusus
4. Tingkat penentu kebijakan teknis
5. Tingkat penentu kebijakan di Daerah mempunyai arti yang berbeda-beda.
Tugas 3 Sospol
Tugas 3 Sospol (Bentuk Sistem Politik Di Indonesia sesuai UUD 45)
Sistem Politik Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik.
Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Perwakilan
7. Sistem peemrintahan presidensiil
Sistem Politik Indonesia
Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensil, di mana Presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Para Bapak Bangsa (the Founding Fathers) yang meletakkan dasar pembentukan negara Indonesia, setelah tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Mereka sepakat menyatukan rakyat yang berasal dari beragam suku bangsa, agama, dan budaya yang tersebar di ribuan pulau besar dan kecil, di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia pernah menjalani sistem pemerintahan federal di bawah Republik Indonesia Serikat (RIS) selama tujuh bulan (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950), namun kembali ke bentuk pemerintahan republik.
Setelah jatuhnya Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan menawarkan konsep Otonomi Daerah untuk mewujudkan desentralisasi kekuasaan.
Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :
1. Ide kedaulatan rakyat
2. Negara berdasarkan atas hukum
3. Bentuk Republik
4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi
5. Pemerintahan yang bertanggung jawab
6. Sistem Perwakilan
7. Sistem peemrintahan presidensiil
Senin, 18 Oktober 2010
Tulisan tentang Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat saat ini
Pelacuran di kalangan pelajar
Menurut Encyclopaedia Britannica (1973-74), pelacuran dapat didefinisikan sebagai: ”Praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian pelacuran dikarakteristikkan oleh tiga unsur utama : pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional”.
Secara keseluruhan dapat diamati bahwa terdapat tiga elemen utama dari pelacuran yang dikenal luas: ekonomi, seksual, dan psikologi (struktur psiko_individual, emosional). Karena kesemua unsur ini terdapat dalam kebanyakan hubungan seksual, persoalan utama yang dipedebatkan terletak pada bagaimana seorang pelacur dapat dibedakan dari perempuan lain. Satu definisi menempatkan pelacur di bawah isu pekerjaan, kelangkaan akan pelayanan dan keterampilan seksual serta hasrat promiskuitas. Definisi lain menempatkan pelacuran di bawah kebudayaan patriarki. Karena kebudayaan patriarki mendefinisikan seksualitas perempuan di bawah wilayah dominasi pria, yakni untuk melayani kebutuhan pria, tak ada perbedaan dapat ditetapkan antar pelacur dan perempuan lain. Dalam pengertian semacam itu, pelacuran tak dapat diterima sebagai sebuah pekerjaan melainkan hanya sebagai salah satu bentuk penindasan terdahap martabat perempuan.
Kedua definisi tersebut mengandung persoalan yang lahir dari generalisasi berlebihan terhadap aspek ekonomi pelacuran (pemanfaatan dan kelangkaan kecakapan seksual) dan aspek politis pelacuran (dominasi dan keseweng-wenangan pria).
Pelacuran non-keagamaan muncul baik dikalangan kelas yang berkuasa maupun di strata sosial yang lebih rendah di kelas penguasa, pelacuran seringkali tidak dikutuk melainkan dihargai dengan satu dan cara lain. Pada sisi paralel lain dari kaum pelacur yang melayani kelas penguasa adalah mereka yang melayani strata masyarakat lebih rendah. Mereka dapat diidentifikasi, diisolasi dan mengemban stigma sosial. Demikianlah berbagai prubahan historis telah mentransformasikan posisi pelacur istimewa maupun pelacur kalangan rendah.
Dewasa ini pelacuran di kalangan pelajar sudah menjadi rahasia umum. Pelacuran yang biasanya dilakoni oleh wanita dewasa sekarang telah bergeser ke anak pelajar. Bergesernya pelaku pelacuran bisa disebabkan oleh perkembangan jaman, sumber informasi yang terlalu bebas dari dunia luar, dan hilangnya norma dalam masyarakat. Faktor lain yang melatarbelakangi pelacuran pelajar ini adalah faktor ekonomi, kurang pengetahuan tentang seks secara benar, kurang perhatian orang tua, hingga pergaulan.
Umumnya, para pelajar tersebut menjajakan dirinya seusai jam sekolah & yang membuat lebih miris lagi, mereka melakukan hal tersebut dengan masih menggunakkan seragam sekolah. Para lelaki hidung belang yang mengencani mereka mengaku bahwa mereka lebih suka berkencan dengan pelajar tersebut karena tarifnya yang relatif lebih murah dari pelacur dewasa.
Maraknya pelacuran di kalangan pelajar membuat kita yang mendengar dan mengetahuinya menjadi miris. Oleh karena itu, perhatian orang tua dan pergaulan sangat berpengaruh mencegah terjadinya hal tersebut. Agar para pelajar penerus bangsa ini tidak salah jalan dalam menapaki masa depannya.
Menurut Encyclopaedia Britannica (1973-74), pelacuran dapat didefinisikan sebagai: ”Praktek hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Dengan demikian pelacuran dikarakteristikkan oleh tiga unsur utama : pembayaran, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional”.
Secara keseluruhan dapat diamati bahwa terdapat tiga elemen utama dari pelacuran yang dikenal luas: ekonomi, seksual, dan psikologi (struktur psiko_individual, emosional). Karena kesemua unsur ini terdapat dalam kebanyakan hubungan seksual, persoalan utama yang dipedebatkan terletak pada bagaimana seorang pelacur dapat dibedakan dari perempuan lain. Satu definisi menempatkan pelacur di bawah isu pekerjaan, kelangkaan akan pelayanan dan keterampilan seksual serta hasrat promiskuitas. Definisi lain menempatkan pelacuran di bawah kebudayaan patriarki. Karena kebudayaan patriarki mendefinisikan seksualitas perempuan di bawah wilayah dominasi pria, yakni untuk melayani kebutuhan pria, tak ada perbedaan dapat ditetapkan antar pelacur dan perempuan lain. Dalam pengertian semacam itu, pelacuran tak dapat diterima sebagai sebuah pekerjaan melainkan hanya sebagai salah satu bentuk penindasan terdahap martabat perempuan.
Kedua definisi tersebut mengandung persoalan yang lahir dari generalisasi berlebihan terhadap aspek ekonomi pelacuran (pemanfaatan dan kelangkaan kecakapan seksual) dan aspek politis pelacuran (dominasi dan keseweng-wenangan pria).
Pelacuran non-keagamaan muncul baik dikalangan kelas yang berkuasa maupun di strata sosial yang lebih rendah di kelas penguasa, pelacuran seringkali tidak dikutuk melainkan dihargai dengan satu dan cara lain. Pada sisi paralel lain dari kaum pelacur yang melayani kelas penguasa adalah mereka yang melayani strata masyarakat lebih rendah. Mereka dapat diidentifikasi, diisolasi dan mengemban stigma sosial. Demikianlah berbagai prubahan historis telah mentransformasikan posisi pelacur istimewa maupun pelacur kalangan rendah.
Dewasa ini pelacuran di kalangan pelajar sudah menjadi rahasia umum. Pelacuran yang biasanya dilakoni oleh wanita dewasa sekarang telah bergeser ke anak pelajar. Bergesernya pelaku pelacuran bisa disebabkan oleh perkembangan jaman, sumber informasi yang terlalu bebas dari dunia luar, dan hilangnya norma dalam masyarakat. Faktor lain yang melatarbelakangi pelacuran pelajar ini adalah faktor ekonomi, kurang pengetahuan tentang seks secara benar, kurang perhatian orang tua, hingga pergaulan.
Umumnya, para pelajar tersebut menjajakan dirinya seusai jam sekolah & yang membuat lebih miris lagi, mereka melakukan hal tersebut dengan masih menggunakkan seragam sekolah. Para lelaki hidung belang yang mengencani mereka mengaku bahwa mereka lebih suka berkencan dengan pelajar tersebut karena tarifnya yang relatif lebih murah dari pelacur dewasa.
Maraknya pelacuran di kalangan pelajar membuat kita yang mendengar dan mengetahuinya menjadi miris. Oleh karena itu, perhatian orang tua dan pergaulan sangat berpengaruh mencegah terjadinya hal tersebut. Agar para pelajar penerus bangsa ini tidak salah jalan dalam menapaki masa depannya.
Langganan:
Postingan (Atom)